FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN MATEMATIKA
BAB
I
PENDAHULUAN
Filsafat merupakan ilmu tentang kemampuan
mengolah pikiran. Yang mana mengolah pikiran yang dimaksud terkait dengan asal
dari sumber-sumber atau menurut siapa yang dipikirkan, apa saja pembenarannya,
bagaimana logikanya, apa cakupannya, bagaimana tatacaranya, bagaimana proses
terjadinya, bagaimana etikanya, kapan dan dimana. Dalam berfilsafat terdapat
tiga aspek yang dipelajari yaitu: ontology (hakekatnya), epistimologi (pengetahuan/metodologinya),
dan aksiologi (etik dan estetika/ketepatannya) benar atau salahnya maupun baik
atau buruknya. Jika kita mempelajari salah satu
aspek dalam ilmu filsafat maka dengan sendirinya kita mempelajari aspek yang
lain, karena ketiga aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain. Sehingga
dapat dikatakan bahwa filsafat mempelajari yang ada dan yang mungkin ada dalam
kehidupan. Mempelajari filsafat ilmu tidak sama halnya dengan mempelajari
matematika yang berupa ilmu pasti, belajar filsafat tidak memerlukan kepastian
karena dalam filsafat yang salah itu benar, seperti halnya kita bertanya pada
seorang anak Sekolah Dasar tentang ilmu Trigonometri, dan jika jawaban anak
tersebut salah maka anak tersebut menjawab dengan benar karena pada dasarnya
dia tidak mengetahui jawaban yang seharusnya, sebab tidak ada atau belum ada
pengetahuan tentang ilmu trigonometri yang dia dapatkan dalam hidupnya. Maka
mempelajari filsafat sangat berkaitan erat dengan space and time (ruang dan
waktu). Membahas tentang ruang berarti juga membahas tentang waktu karena tidak
akan pernah ada ruang jika tidak ada waktu dan begitu pula sebaliknya, tidak
akan ada waktu jika tidak ada ruang.
Mempelajari filsafat tidak selamanya
bersifat universal, saya teringat dengan pernyataan dari Prof. Marsigit yang mengatakan
bahwa sekecil-kecilnya sesuatu dan hal yang sepele pun bisa menjadi sebuah
filsafat yang mungkin orang lain mengatakan bahwa tidak penting. Padahal hampir
setiap aktivitas sehari-hari kita diwarnai dengan filsafat. Filsafat adalah
adab dan tata cara. Prof. Marsigit sangat menekankan hal ini yaitu salah satu
adabnya adalah sebelum engkau kembarakan pikiranmu lebih tinggi dan menjauh
maka engkau niatkanlah doanya, kuatkanlah akidahnya dan imannya.
Setinggi-tingginya pikiran kita niatkan semata-mata hanya untuk membangun
keyakinanku. Dalam berfilsafat, jangan sekali-kali kacau dalam hati karena
kacaunya di dalam hati walaupun satu titik itu adalah godaan syaitan. Sebagai
penutup Pak Marsigit mengatakan bahwa supaya engkau dapat berfilsafat maka
perbanyaklah membaca. Apabila filsafat dinaikkan satu tingkat maka sudah
menjadi spiritual. Jadikanlah spiritualitas menjadi tingkat keyakinan tertinggi
dalam mengolah pikiran, karena sebaik-baik pikiran adalah dari hati
(keyakinan).
Untuk
menguasai ilmu filsafat tidaklah semudah yang kita bayangkan, karena bahasa
orang awam dengan para filsuf memiliki makna yang berbeda. Bahasa yang
digunakan dalam filsafat adalah bahasa analog atau bahasa pengandaian maka
makna dalam suatu tulisan para filsuf tidaklah langsung tersurat tetapi
tersirat penuh makna. Persoalan hidup yang utama para filsuf
adalah dikarenakan manusia tidak paham keseluruhan, manusia hanya paham
sebagian saja. Maka parsialitas hidup sebagian itu adalah tempat godaan syaitan terhadap manusia
melalui sifat manusia yang tidak sempurna yaitu berbicara parsial, memikirkan
parsial, dan mendengarkan parsial. Cara untuk mempelajari filsafat yaitu dengan metode hidup, metode
hidup adalah secara kodrati ciptaan Tuhan, misalnya dari pengalaman hidup.
Seharusnya mempelajari matematika itu dengan metode hidup, belajar tanpa
menyadarinya tetapi mampu memahami agar tidak terjadi kegoncangan dalam
pikiran. Objek fisafat yaitu yang ada dan yang mungkin ada, maka hakikat dalam
mempelajari filsafat adalah mengadakan yang mungkin ada bagi seseorang yang
mempelajarinya. Filsuf besar melakukan perjalanan filsafat yaitu dengan cara
mengadakan yang mungkin ada baginya dengan cara membaca, melihat, mendengarkan
serta merefleksikan pengalaman agar mampu membangun ilmu pengetahuan baru dan
istilah ini dalam filsafat adalah mengolah pikir tentang tesis dan anti tesis
untuk menghasilkan sintesis atau pengetahuan baru.
Berbicara
tentang pendidikan matematika berarti berbicara tentang pendidik, peserta
didik, kurikulum, perangkat pembelajaran, metode, pendekatan didalam proses
pembelajaran dan sejenis lainnya. Relevansi filsafat ilmu dengan filsafat
pendidikan matematika bahwa filsafat ibarat gerbong kereta dan pendidik
bukanlah sebagai penumpang kereta tetapi menjadi penumpang pesawat yang mampu
mengamati laju kereta, bagian-bagian dari kereta dan seluruh item yang terdapat
didalam kereta. Maka ilmu filsafat membantu pendidik untuk memahami
karakter-karakter peserta didik, memahami metode dan pendekatan apa yang
bersifat etik dan estetika dalam proses pembelajaran. Tidaklah ada suatu metode
atau pendekatan yang tepat bagi suatu pembelajaran karena jika pendidik
memahami bahwa pembelajaran matematika menggunakan metode hidup. Didalam
filsafat dan spiritual diketahui bahwa manusia itu bersifat relative karena itu
kodrat manusia yang ditetapkan Tuhan. Tidaklah ada manusia yang sempurna,
manusia hanya mampu menggapai kesempurnaan hidup lewat usaha atau ikhtiar.
Usaha dan do’a didalam filsafat berhubungan erat dengan fatal dan vital, vital bermakna
hanya berusaha tanpa adanya do’a dan
fatal hanya berdo’a tanpa adanya ikhtiar atau usaha. Jadi dalam melaksanakan
atau menjalani kehidupan maka berusaha dan berdoalah maka sebenar-benarnya
hidup adalah interaksi antara do’a dan ikhtiar.
Sifat
yang tidak boleh digunakan oleh pendidik dalam pembelajaran adalah sifat
determinisme atau mereduksi sifat peserta didik. Sifat determinis yaitu menjatuhkan
sifat orang lain atau mereduksi sifat orang lain dengan mendominasi sifat
dirinya sendiri dalam sutau kondisi. Pendidikan matematika mengharapkan bahwa
pendidik memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi peserta didik untuk
membangun dunia mereka sendiri. Pendidik seharusnya mampu memahami bahwa
paradigma pembelajaran era kontemporer bahwa peserta didik diberikan suatu
kesempatan untuk membangun dunianya yang dimulai dari bertanya. Seperti yang
dilakukan oleh Rene Descartes.
Rene
Descartes mempunyai pengalaman bermimpi, dia tidak bisa membedakan mimpi dan
bukan mimpi. Dunia mimpi dan dunia nyata yang ia alami tidak memiliki perbedaan
yang mampu memberikan penjelasan bahwa dia sedang dialam mimpi atau nyata
karena dia merasa keduanya hampir sama. Dari kejadian itu maka dia mencari
kepastian, dan pertanyaan yang timbul adalah, “apakah sekarang aku sedang
dialam nyata atau dialam mimpi?, maka satu-satunya kepastian yang pasti
yang tidak bisa dibantah ole Rene Descartes adalah “aku sedang bertanya” atau
“aku sedang memikirkannya”. Kesimpulannya Rene Descartes sebenarnya aku tidak
bermimpi tetapi betul-betul ada karena aku memikirkannya. Jadi aku ada karena
aku berpikir (cogito ergo sum).
Dari
kejadian yang dialami oleh Rene Descartes inilah seyogyanya menjadi rujukan
bagi para pendidik untuk memahami bahwa peserta didik bukanlah untuk menerima
informasi atau proses transfer of knowledge dan bukan teacher
center tetapi lebih kepada student centerdimana peserta
didik menjadi pusat dari suatu proses pembelajaran sehingga pendidik tidak lagi
berada didepan kelas (in front of class) tetapi lebih kepada in
my side bagi peserta didik. Peserta didik seyogyanya diberikan
kesempatan untuk memulai bertanya tentang materi pembelajaran.
BAB
II
PEMBAHASAN
Proses
belajar mengajar adalah proses dimana peserta didik sebagai objek pendidikan
membangun pengetahuan dan ilmu pengetahuan mereka. Membangun pengetahuan dapat
dimulai dari yang ada dan yang mungkin ada. Yang ada dan yang mungkin ada
mempunyai sifat meliputi yang ada dan yang mungkin ada pula, maksudnya adalah
bahwa sifat-sifat yang ada dan yang mungkin ada itu jumlahnya banyak sekali,
semiliar pangkat semiliar tak mampu dinukilkan dari yang ada dan yang mungkin
ada. Yang ada dan yang mungkin ada merupakan objek pikir, jika objek pikir ada
di dalam pikiran kita, maka masalahnya bagaimana kita mampu menjelaskan objek
pikir tersebut kepada orang lain dan jika objek pikir ada di luar pikiran kita,
maka bagaimanakah cara kita mengetahuinya. Kita akan mampu membangun ilmu
pengetahuan jika mampu menjawab kedua persoalan tersebut maka tugas pendidik
adalah memahami objek pikir tersebut agar proses pembelajaran didalam kelas
sesuai dengan harapan.
Ada dua
sifat yang perlu dipahami oleh pendidik, sifat-sifat itu ialah bersifat tetap
dan bersifat berubah. Yang tetap itu ada didalam pikiran manusia dan yang
berubah itu ada diluar pikiran manusia. Misalnya saya memiliki pohon mangga,
selamanya pohon mangga tersebut akan saya sebut sebagai pohon mangga walaupun
bentuknya berubah, ini adalah contoh yang bersifat tetap contoh yang bersifat
berubah yaitu pohon mangga yang bersifat tetap itu ternyata berubah jika saya
perhatikan dari hari ke hari. Maka dapat disimpulkan bahwa tetap itu hanya ada
didalam pikiran manusia dan berubah itu ada diluar pikiran manusia. Didalam
ilmu filsafat yang tetap itu tokohnya Permenides dan yang berubah tokohnya
Heraklitus. Yang didalam pikiran bersifat absolut/absolutisme atau
ideal/idealisme, tokohnya Plato atau filsafatnya platonisme. Yang diluar
pikiran bersifat real atau nyata maka adanya filsafat realisme tokohnya
Aristoteles atau filsafatnya Aristotelianisme. Yang berubah bersifat relatif
disebut dengan filsafat relatifisme, bersifat kontradiksi (I tidak sama dengan
I) dan bersifat konkrit sedangkan yang tetap bersifat identitas (I = I).
Yang
bersifat relatif itu berdasarkan persepsi, maksudnya persepsi itu dapat
dilihat, dapat diraba atau disentuh atau dapat didengar, kebenarannya bersifat
cocok atau korespondensi. Yang bersifat absolut kebenarannya yang penting
konsisten, pikiran akan menjadi ilmu jika dia konsisten, mau melakukan apapun
tidak masalah, tak bermakna atau tak semiotik sepanjang dia mau memperlihatkan
konsistensinya, misalnya matematika murni, apapun soalnya maka akan menuju atau
mengarah kepada suatu teorema. Contohnya 1 + 2 = 3, tidak peduli apakah 1 buku
+ 2 pensil = 3 buku, yang penting tetap konsisten dan bersifat abstrak. Didalam
pendidikan matematika sangatlah berpengaruh tentang 1 + 2 = 3, 1 buku + 2
pensil tidak sama dengan 3 buku karena dalam pendidikan matematika sangat
memperhatikan realismenya atau kenyataan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada
dasarnya filsafat tidak sekedar konkrit dan tidak sekedar abstrak. Konkrit
tidak sama dengan real, penjelasannya konkrit itu anti tesis dari abstrak, real
itu anti tesis dari absolut atau ideal. Misalnya anti tesis dari hitam adalah
putih itu adalah pernyataan yang salah karena anti tesis dari hitam tidak hanya
putih tetapi semua yang ada dan yang mungkin ada didunia ini. Yang konkrit
bersifat sintetik dan yang abstrak bersifat analitik. Analitik itu
mensintesiskan apapun terserah yang penting logis. Analitik berkemistri dengan
a priori. Contohnya, seorang dokter bisa mengobati pasiennya lewat radio
(komunikasi via telpon, email dan sebagainya), dokter ini tidak perlu melihat
pasiennya untuk memberikan resep obat yang harus dimakan pasiennya karena
dokter sudah memiliki teori atau konsep yang telah dipelajari tentang penyakit
pasiennya maka dokter ini bersifat a priori (paham walaupun tidak melihat),
berdasarkan yang telah dipelajari. Ada tiga perkara dalam sintetik yaitu,
adanya saling terhubung, berlaku hukum sebab akibat, dan dunia persepsi
(fakta). Akibat dari sintetik adalah a posteriori. A posteriori itu contohnya
dokter hewan, dokter hewan baru mengetahui apa penyakit hewannya jika dokter
tersebut melihat langsung dan berkomunikasi langsung dengan hewannya karena hewan
tidak bisa berkomunikasi jarak jauh dengan manusia kalau tidak disentuh atau
dilihat secara real didepan mata (a posteriori).
Analitik a
priori melahirkan aliran rasionalisme tokohnya Rene descartes. Sintetik a
priori melahirkan empirisisme tokohnya David hume. Disatu sisi ada pihak
rasionalisme disisi lain ada pihak empirisisme. Pada akhir abad ke 15 kedua
aliran ini saling bersaing, saling menyalahkan satu sama lain. Rene
descartes menyatakan “tiadalah ilmu bila tidak berdasarkan rasio”,
sedangkan David hume berkata “tiadalah ilmu jika tidak dibangun diatas
pengalaman”. Maka dari pertentangan itu muncullah seorang pemuda yang
memiliki pemikiran yang berbeda atas keduanya yang bernama Immanuel kant
(1671). Immanuel kant berkata “wahai kaum rasionalisme dan kaum empirisisme
ketahuilah bahwa ilmu itu tidak bisa dibangun atas rasio saja atau
pengalaman saja,” (Critic of Pure Reason). Supaya adil maka dari kaum
rasionalisme diambil a priori dan dikaum empirisisme diambil sintetiknya maka
lahirlah teori sintetik a priori (pikirkanlah pengalamanmu dan terapkanlah
sintesismu) oleh Immanuel Kant.
Berdasarkan
sintesis dari para filsuf-filsuf ini, merupakan suatu rujukan bagi para
pendidik untuk melihat dan memahami sisi pendidikan dari metode hidup yang
diterapkan oleh para filsuf. Ada beberapa hal lagi yang harus dipahami oleh
para pendidik yaitu harapan seorang peserta didik dalam proses pembelajaran.
Adapun harapan-harapan peserta didik yaitu: peserta didik berharap bahwa
pelajaran matematika itu menyenangkan, memberi semangat bagi mereka, dan
bermanfaat dalam kehidupannya sehari-hari. Peserta didik juga berharap bahwa
pelajaran matematika itu mudah untuk dipelajari, matematika bukanlah momok yang
menakutkan bagi peserta didik, jadi bagaimana guru mensetting kelas matematika
supaya peserta didik mampu memahami matematika yang abstrak dan bersifat
koheren. Ada harapan pada peserta didik agar pendidik juga menghargai
pengetahuan-pengetahuan yang sudah mereka miliki misalnya meminta pengalaman
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari untuk kemudian dikaitkan dalam
pembelajaran matematika. Peserta didik ingin juga bahwa pelajaran
matematika itu mempunyai keindahan atau nilai etik dan estestika, sesuai dengan
norma dan nilai agama sehingga mereka berharap bahwa semua yang dilakukan
dimulai dengan berdo’a, kemudian timbul pertanyaan, apa hubungannya berdo’a
dengan pelajaran matematika? Ketahuilah bahwa do’a merupakan usaha manusia
dalam menggapai ridho Tuhan, kita tidak perlu memahami Tuhan dengan pikiran
kita karena sejauh apapun manusia mencari Tuhan maka sejauh itupun Tuhan tidak
akan memberikan jalan untuk manusia memahamiNya, tengoklah kedalam hatimu maka
engkau akan menemukan Tuhan.
Peserta
didik juga ingin agar pendidik memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
mempersiapkan psikologisnya dalam mengikuti pelajaran matematika. Apersepsi
seyogyanya dimiliki oleh peserta didik, maksudnya bahwa apersepsi bukanlah
tugas guru untuk berceramah tetapi galilah pengalaman peserta didik untuk
melakukan apersepsi dalam memahami materi yang akan dipelajari, pengalaman atau
pemahaman konsep awal bagi peserta didik sangatlah berpengaruh dalam
pembelajaran matematika untuk materi berikutnya. Kegiatan aperepsi seyogyanya
dilakukan oleh semua anak tanpa terkecuali, biasanya sebagian guru menunjuk
peserta didik yang duduk didepan atau peserta didik yang angkat tangan saja
yang memberikan pengalaman atau apersepsi sedangkan peserta didik yang duduk
paling belakang atau tidak mengankat tangan tidak disuruh untuk melakukan
apersepsi. Ketahuilah bahwa pembelajaran matematika itu untuk peserta didik
yang berbeda dengan matematika yang berbeda dan untuk nilai yang berbeda pula
dalam situasi yang sama.
Pelajaran
bagi para pendidik bahwa bersikap adillah kepada semua peserta didikmu, tidak
pilih kasih karena jika nilai peserta didik jelek, janganlah diremehkan, tetapi
jika nilainya baik maka janganlah terlalu disanjung-sanjung. Peserta
didik juga berharap agar pendidik tidak bersikap otoriter tetapi bersikap
demokratislah maksudnya bahwa pendidik janganlah bersifat menggurui karena yang
belajar bukanlah guru tetapi peserta didik sehingga yang seharusnya melakukan
aktivitas didalam kelas atau yang aktif adalah peserta didik bukanlah guru.
Harapan
peserta didik juga bahwa agar pendidik dapat membuat atau menyiapkan LKS, LKS
bukanlah sekedar kumpulan soal, melainkan dapat menjadi sarana bagi peserta
didik untuk belajar mandiri maupun kelompok. LKS merupakan sarana yang sangat
strategis bagi pendidik agar mampu melayani kebutuhan belajar matematika
peserta didik yang beraneka ragam kemampuan. Peserta didik berharap agar
penilain pendidik terhadap peserta didik bukan hanya pada tes saja tetapi lebih
kepada kegiatannya setiap hari. Oleh karena itu pendidik diharapkan menggunakan
berbagai variasi metode mengajar, variasi penilaian, variasi pemanfaatan sumber
belajar. Pada kegiatan akhir dalam pembelajaran pendidik seyogyanya memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk menyimpulkan apa yang telah mereka
pelajari, seperti menulis jurnal.
Pemahaman orang dewasa dan anak muda (pelajar sekolah dasar dan
menengah)tentang ilmu matematika itu berbeda. Anak muda belajar dengan cara sintetik a
posteriori yaitu dengan realisme dan fakta empiris atau pengalaman, sedangkan
orang dewasa itu pembelajarannya bersifat analitik a priori. Begitupula pada
matematika murni dan matematika pendidikan, matematika murni itu bersifat
analitik a priori, berdasarkan pandangan kaum
logicism, formalism dan foundalism bahwa matematika murni itu berdasarkan
logika dan rasio. Pembelajaran matematika diharapkan
menggunakan sintetik a priori jadi ilmu itu dibangun atas dasar intuisi, pengalaman, rasio, logika dan realita. Pendekatan
kontekstual dan kontruktivisme sangat dibutuhkan guna memberikan pemahaman
kepada siswa tentang ilmu matematika. Jadi sebagai pendidik janganlah mengajar tentang konseptual tetapi
mengajarlah dengan cara kontekstual.
BAB
III
PENUTUP
Pendidikan
matematika dari sudut pandang filsafat meliputi tiga hal yaitu: ontologi
matematika, epistimologi matematika, dan aksiologi matematika. Metode
pembelajaran matematika menurut Immanuel Kant adalah sintetik a priori atau
dengan mensintesiskan pengalaman dan melakukan sintesis tersebut. Pada dasarnya
seseorang memiliki intuisi, dan intuisi merupakan pengalaman seseorang. Sebagaimana
suatu intuisi dibangun dari sesuatu yang ada dan mungkin ada. Tidaklah mungkin
dikatakan pengalaman jika tidak di sintesis oleh rasio (pikiran) maka
pembelajaran matematika adalah mempelajari matematika sesuai dengan pengalaman
kemudian mensisntesiskan pengalaman tersebut dengan rasio atau logika sehingga
menghasilkan sintesisi baru. Maka kaum logicm, foundalism dan rasional
seharusnya melebur dengan kaum empirisisme untuk membentuk metode matematika
yang berkarakter.
No comments:
Post a Comment