Wednesday, January 2, 2019

FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN MATEMATIKA


FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN MATEMATIKA

BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat merupakan ilmu tentang kemampuan mengolah pikiran. Yang mana mengolah pikiran yang dimaksud terkait dengan asal dari sumber-sumber atau menurut siapa yang dipikirkan, apa saja pembenarannya, bagaimana logikanya, apa cakupannya, bagaimana tatacaranya, bagaimana proses terjadinya, bagaimana etikanya, kapan dan dimana. Dalam berfilsafat terdapat tiga aspek yang dipelajari yaitu: ontology (hakekatnya), epistimologi (pengetahuan/metodologinya), dan aksiologi (etik dan estetika/ketepatannya) benar atau salahnya maupun baik atau buruknya. Jika kita mempelajari salah satu aspek dalam ilmu filsafat maka dengan sendirinya kita mempelajari aspek yang lain, karena ketiga aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat mempelajari yang ada dan yang mungkin ada dalam kehidupan. Mempelajari filsafat ilmu tidak sama halnya dengan mempelajari matematika yang berupa ilmu pasti, belajar filsafat tidak memerlukan kepastian karena dalam filsafat yang salah itu benar, seperti halnya kita bertanya pada seorang anak Sekolah Dasar tentang ilmu Trigonometri, dan jika jawaban anak tersebut salah maka anak tersebut menjawab dengan benar karena pada dasarnya dia tidak mengetahui jawaban yang seharusnya, sebab tidak ada atau belum ada pengetahuan tentang ilmu trigonometri yang dia dapatkan dalam hidupnya. Maka mempelajari filsafat sangat berkaitan erat dengan space and time (ruang dan waktu). Membahas tentang ruang berarti juga membahas tentang waktu karena tidak akan pernah ada ruang jika tidak ada waktu dan begitu pula sebaliknya, tidak akan ada waktu jika tidak ada ruang.
Mempelajari filsafat tidak selamanya bersifat universal, saya teringat dengan pernyataan dari Prof. Marsigit yang mengatakan bahwa sekecil-kecilnya sesuatu dan hal yang sepele pun bisa menjadi sebuah filsafat yang mungkin orang lain mengatakan bahwa tidak penting. Padahal hampir setiap aktivitas sehari-hari kita diwarnai dengan filsafat. Filsafat adalah adab dan tata cara. Prof. Marsigit sangat menekankan hal ini yaitu salah satu adabnya adalah sebelum engkau kembarakan pikiranmu lebih tinggi dan menjauh maka engkau niatkanlah doanya, kuatkanlah akidahnya dan imannya. Setinggi-tingginya pikiran kita niatkan semata-mata hanya untuk membangun keyakinanku. Dalam berfilsafat, jangan sekali-kali kacau dalam hati karena kacaunya di dalam hati walaupun satu titik itu adalah godaan syaitan. Sebagai penutup Pak Marsigit mengatakan bahwa supaya engkau dapat berfilsafat maka perbanyaklah membaca. Apabila filsafat dinaikkan satu tingkat maka sudah menjadi spiritual. Jadikanlah spiritualitas menjadi tingkat keyakinan tertinggi dalam mengolah pikiran, karena sebaik-baik pikiran adalah dari hati (keyakinan).
Untuk menguasai ilmu filsafat tidaklah semudah yang kita bayangkan, karena bahasa orang awam dengan para filsuf memiliki makna yang berbeda. Bahasa yang digunakan dalam filsafat adalah bahasa analog atau bahasa pengandaian maka makna dalam suatu tulisan para filsuf tidaklah langsung tersurat tetapi tersirat penuh makna. Persoalan hidup yang utama para filsuf adalah dikarenakan manusia tidak paham keseluruhan, manusia hanya paham sebagian saja. Maka parsialitas hidup sebagian itu adalah tempat godaan syaitan terhadap manusia melalui sifat manusia yang tidak sempurna yaitu berbicara parsial, memikirkan parsial, dan mendengarkan parsial. Cara untuk mempelajari filsafat yaitu dengan metode hidup, metode hidup adalah secara kodrati ciptaan Tuhan, misalnya dari pengalaman hidup. Seharusnya mempelajari matematika itu dengan metode hidup, belajar tanpa menyadarinya tetapi mampu memahami agar tidak terjadi kegoncangan dalam pikiran. Objek fisafat yaitu yang ada dan yang mungkin ada, maka hakikat dalam mempelajari filsafat adalah mengadakan yang mungkin ada bagi seseorang yang mempelajarinya. Filsuf besar melakukan perjalanan filsafat yaitu dengan cara mengadakan yang mungkin ada baginya dengan cara membaca, melihat, mendengarkan serta merefleksikan pengalaman agar mampu membangun ilmu pengetahuan baru dan istilah ini dalam filsafat adalah mengolah pikir tentang tesis dan anti tesis untuk menghasilkan sintesis atau pengetahuan baru.
Berbicara tentang pendidikan matematika berarti berbicara tentang pendidik, peserta didik, kurikulum, perangkat pembelajaran, metode, pendekatan didalam proses pembelajaran dan sejenis lainnya. Relevansi filsafat ilmu dengan filsafat pendidikan matematika bahwa filsafat ibarat gerbong kereta dan pendidik bukanlah sebagai penumpang kereta tetapi menjadi penumpang pesawat yang mampu mengamati laju kereta, bagian-bagian dari kereta dan seluruh item yang terdapat didalam kereta. Maka ilmu filsafat membantu pendidik untuk memahami karakter-karakter peserta didik, memahami metode dan pendekatan apa yang bersifat etik dan estetika dalam proses pembelajaran. Tidaklah ada suatu metode atau pendekatan yang tepat bagi suatu pembelajaran karena jika pendidik memahami bahwa pembelajaran matematika menggunakan metode hidup. Didalam filsafat dan spiritual diketahui bahwa manusia itu bersifat relative karena itu kodrat manusia yang ditetapkan Tuhan. Tidaklah ada manusia yang sempurna, manusia hanya mampu menggapai kesempurnaan hidup lewat usaha atau ikhtiar. Usaha dan do’a didalam filsafat berhubungan erat dengan fatal dan vital, vital bermakna hanya berusaha tanpa adanya do’a dan fatal hanya berdo’a tanpa adanya ikhtiar atau usaha. Jadi dalam melaksanakan atau menjalani kehidupan maka berusaha dan berdoalah maka sebenar-benarnya hidup adalah interaksi antara do’a dan ikhtiar.
Sifat yang tidak boleh digunakan oleh pendidik dalam pembelajaran adalah sifat determinisme atau mereduksi sifat peserta didik. Sifat determinis yaitu menjatuhkan sifat orang lain atau mereduksi sifat orang lain dengan mendominasi sifat dirinya sendiri dalam sutau kondisi. Pendidikan matematika mengharapkan bahwa pendidik memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi peserta didik untuk membangun dunia mereka sendiri. Pendidik seharusnya mampu memahami bahwa paradigma pembelajaran era kontemporer bahwa peserta didik diberikan suatu kesempatan untuk membangun dunianya yang dimulai dari bertanya. Seperti yang dilakukan oleh Rene Descartes.
Rene Descartes mempunyai pengalaman bermimpi, dia tidak bisa membedakan mimpi dan bukan mimpi. Dunia mimpi dan dunia nyata yang ia alami tidak memiliki perbedaan yang mampu memberikan penjelasan bahwa dia sedang dialam mimpi atau nyata karena dia merasa keduanya hampir sama. Dari kejadian itu maka dia mencari kepastian, dan pertanyaan yang timbul adalah, “apakah sekarang aku sedang dialam nyata atau dialam mimpi?, maka satu-satunya kepastian yang pasti  yang tidak bisa dibantah ole Rene Descartes adalah “aku sedang bertanya” atau “aku sedang memikirkannya”. Kesimpulannya Rene Descartes sebenarnya aku tidak bermimpi tetapi betul-betul ada karena aku memikirkannya. Jadi aku ada karena aku berpikir (cogito ergo sum).
Dari kejadian yang dialami oleh Rene Descartes inilah seyogyanya menjadi rujukan bagi para pendidik untuk memahami bahwa peserta didik bukanlah untuk menerima informasi atau proses transfer of knowledge dan bukan teacher center tetapi lebih kepada student centerdimana peserta didik menjadi pusat dari suatu proses pembelajaran sehingga pendidik tidak lagi berada didepan kelas (in front of class) tetapi lebih kepada in my side bagi peserta didik. Peserta didik seyogyanya diberikan kesempatan untuk memulai bertanya tentang materi pembelajaran.

BAB II
PEMBAHASAN
Proses belajar mengajar adalah proses dimana peserta didik sebagai objek pendidikan membangun pengetahuan dan ilmu pengetahuan mereka. Membangun pengetahuan dapat dimulai dari yang ada dan yang mungkin ada. Yang ada dan yang mungkin ada mempunyai sifat meliputi yang ada dan yang mungkin ada pula, maksudnya adalah bahwa sifat-sifat yang ada dan yang mungkin ada itu jumlahnya banyak sekali, semiliar pangkat semiliar tak mampu dinukilkan dari yang ada dan yang mungkin ada. Yang ada dan yang mungkin ada merupakan objek pikir, jika objek pikir ada di dalam pikiran kita, maka masalahnya bagaimana kita mampu menjelaskan objek pikir tersebut kepada orang lain dan jika objek pikir ada di luar pikiran kita, maka bagaimanakah cara kita mengetahuinya. Kita akan mampu membangun ilmu pengetahuan jika mampu menjawab kedua persoalan tersebut maka tugas pendidik adalah memahami objek pikir tersebut agar proses pembelajaran didalam kelas sesuai dengan harapan.
Ada dua sifat yang perlu dipahami oleh pendidik, sifat-sifat itu ialah bersifat tetap dan bersifat berubah. Yang tetap itu ada didalam pikiran manusia dan yang berubah itu ada diluar pikiran manusia. Misalnya saya memiliki pohon mangga, selamanya pohon mangga tersebut akan saya sebut sebagai pohon mangga walaupun bentuknya berubah, ini adalah contoh yang bersifat tetap contoh yang bersifat berubah yaitu pohon mangga yang bersifat tetap itu ternyata berubah jika saya perhatikan dari hari ke hari. Maka dapat disimpulkan bahwa tetap itu hanya ada didalam pikiran manusia dan berubah itu ada diluar pikiran manusia. Didalam ilmu filsafat yang tetap itu tokohnya Permenides dan yang berubah tokohnya Heraklitus. Yang didalam pikiran bersifat absolut/absolutisme atau ideal/idealisme, tokohnya Plato atau filsafatnya platonisme. Yang diluar pikiran bersifat real atau nyata maka adanya filsafat realisme tokohnya Aristoteles atau filsafatnya Aristotelianisme. Yang berubah bersifat relatif disebut dengan filsafat relatifisme, bersifat kontradiksi (I tidak sama dengan I) dan bersifat konkrit sedangkan yang tetap bersifat identitas (I = I). 
Yang bersifat relatif itu berdasarkan persepsi, maksudnya persepsi itu dapat dilihat, dapat diraba atau disentuh atau dapat didengar, kebenarannya bersifat cocok atau korespondensi. Yang bersifat absolut kebenarannya yang penting konsisten, pikiran akan menjadi ilmu jika dia konsisten, mau melakukan apapun tidak masalah, tak bermakna atau tak semiotik sepanjang dia mau memperlihatkan konsistensinya, misalnya matematika murni, apapun soalnya maka akan menuju atau mengarah kepada suatu teorema. Contohnya 1 + 2 = 3, tidak peduli apakah 1 buku + 2 pensil = 3 buku, yang penting tetap konsisten dan bersifat abstrak. Didalam pendidikan matematika sangatlah berpengaruh tentang 1 + 2 = 3, 1 buku + 2 pensil tidak sama dengan 3 buku karena dalam pendidikan matematika sangat memperhatikan realismenya atau kenyataan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada dasarnya filsafat tidak sekedar konkrit dan tidak sekedar abstrak. Konkrit tidak sama dengan real, penjelasannya konkrit itu anti tesis dari abstrak, real itu anti tesis dari absolut atau ideal. Misalnya anti tesis dari hitam adalah putih itu adalah pernyataan yang salah karena anti tesis dari hitam tidak hanya putih tetapi semua yang ada dan yang mungkin ada didunia ini. Yang konkrit bersifat sintetik dan yang abstrak bersifat analitik. Analitik itu mensintesiskan apapun terserah yang penting logis. Analitik berkemistri dengan a priori. Contohnya, seorang dokter bisa mengobati pasiennya lewat radio (komunikasi via telpon, email dan sebagainya), dokter ini tidak perlu melihat pasiennya untuk memberikan resep obat yang harus dimakan pasiennya karena dokter sudah memiliki teori atau konsep yang telah dipelajari tentang penyakit pasiennya maka dokter ini bersifat a priori (paham walaupun tidak melihat), berdasarkan yang telah dipelajari.  Ada tiga perkara dalam sintetik yaitu, adanya saling terhubung, berlaku hukum sebab akibat, dan dunia persepsi (fakta). Akibat dari sintetik adalah a posteriori. A posteriori itu contohnya dokter hewan, dokter hewan baru mengetahui apa penyakit hewannya jika dokter tersebut melihat langsung dan berkomunikasi langsung dengan hewannya karena hewan tidak bisa berkomunikasi jarak jauh dengan manusia kalau tidak disentuh atau dilihat secara real didepan mata (a posteriori).
Analitik a priori melahirkan aliran rasionalisme tokohnya Rene descartes. Sintetik a priori melahirkan empirisisme tokohnya David hume. Disatu sisi ada pihak rasionalisme disisi lain ada pihak empirisisme. Pada akhir abad ke 15 kedua aliran ini saling bersaing, saling menyalahkan satu sama lain.  Rene descartes menyatakan “tiadalah ilmu bila tidak berdasarkan rasio”, sedangkan David hume berkata “tiadalah ilmu jika tidak dibangun diatas pengalaman”. Maka dari pertentangan itu muncullah seorang pemuda yang memiliki pemikiran yang berbeda atas keduanya yang bernama Immanuel kant (1671). Immanuel kant berkata “wahai kaum rasionalisme dan kaum empirisisme ketahuilah bahwa  ilmu itu tidak bisa dibangun atas rasio saja atau pengalaman saja,” (Critic of Pure Reason). Supaya adil maka dari kaum rasionalisme diambil a priori dan dikaum empirisisme diambil sintetiknya maka lahirlah teori sintetik a priori (pikirkanlah pengalamanmu dan terapkanlah sintesismu) oleh Immanuel Kant.
Berdasarkan sintesis dari para filsuf-filsuf ini, merupakan suatu rujukan bagi para pendidik untuk melihat dan memahami sisi pendidikan dari metode hidup yang diterapkan oleh para filsuf. Ada beberapa hal lagi yang harus dipahami oleh para pendidik yaitu harapan seorang peserta didik dalam proses pembelajaran. Adapun harapan-harapan peserta didik yaitu: peserta didik berharap bahwa pelajaran matematika itu menyenangkan, memberi semangat bagi mereka, dan bermanfaat dalam kehidupannya sehari-hari. Peserta didik juga berharap bahwa pelajaran matematika itu mudah untuk dipelajari, matematika bukanlah momok yang menakutkan bagi peserta didik, jadi bagaimana guru mensetting kelas matematika supaya peserta didik mampu memahami matematika yang abstrak dan bersifat koheren.  Ada harapan pada peserta didik agar pendidik juga menghargai pengetahuan-pengetahuan yang sudah mereka miliki misalnya meminta pengalaman peserta didik dalam kehidupan sehari-hari untuk kemudian dikaitkan dalam pembelajaran matematika.  Peserta didik ingin juga bahwa pelajaran matematika itu mempunyai keindahan atau nilai etik dan estestika, sesuai dengan norma dan nilai agama sehingga mereka berharap bahwa semua yang dilakukan dimulai dengan berdo’a, kemudian timbul pertanyaan, apa hubungannya berdo’a dengan pelajaran matematika? Ketahuilah bahwa do’a merupakan usaha manusia dalam menggapai ridho Tuhan, kita tidak perlu memahami Tuhan dengan pikiran kita karena sejauh apapun manusia mencari Tuhan maka sejauh itupun Tuhan tidak akan memberikan jalan untuk manusia memahamiNya, tengoklah kedalam hatimu maka engkau akan menemukan Tuhan.
Peserta didik juga ingin agar pendidik memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mempersiapkan psikologisnya dalam mengikuti pelajaran matematika. Apersepsi seyogyanya dimiliki oleh peserta didik, maksudnya bahwa apersepsi bukanlah tugas guru untuk berceramah tetapi galilah pengalaman peserta didik untuk melakukan apersepsi dalam memahami materi yang akan dipelajari, pengalaman atau pemahaman konsep awal bagi peserta didik sangatlah berpengaruh dalam pembelajaran matematika untuk materi berikutnya. Kegiatan aperepsi seyogyanya dilakukan oleh semua anak tanpa terkecuali, biasanya sebagian guru menunjuk peserta didik yang duduk didepan atau peserta didik yang angkat tangan saja yang memberikan pengalaman atau apersepsi sedangkan peserta didik yang duduk paling belakang atau tidak mengankat tangan tidak disuruh untuk melakukan apersepsi. Ketahuilah bahwa pembelajaran matematika itu untuk peserta didik yang berbeda dengan matematika yang berbeda dan untuk nilai yang berbeda pula dalam situasi yang sama.
Pelajaran bagi para pendidik bahwa bersikap adillah kepada semua peserta didikmu, tidak pilih kasih karena jika nilai peserta didik jelek, janganlah diremehkan, tetapi jika nilainya baik maka janganlah terlalu disanjung-sanjung.  Peserta didik juga berharap agar pendidik tidak bersikap otoriter tetapi bersikap demokratislah maksudnya bahwa pendidik janganlah bersifat menggurui karena yang belajar bukanlah guru tetapi peserta didik sehingga yang seharusnya melakukan aktivitas didalam kelas atau yang aktif adalah peserta didik bukanlah guru.
Harapan peserta didik juga bahwa agar pendidik dapat membuat atau menyiapkan LKS, LKS bukanlah sekedar kumpulan soal, melainkan dapat menjadi sarana bagi peserta didik untuk belajar mandiri maupun kelompok. LKS merupakan sarana yang sangat strategis bagi pendidik agar mampu melayani kebutuhan belajar matematika peserta didik yang beraneka ragam kemampuan. Peserta didik berharap agar penilain pendidik terhadap peserta didik bukan hanya pada tes saja tetapi lebih kepada kegiatannya setiap hari. Oleh karena itu pendidik diharapkan menggunakan berbagai variasi metode mengajar, variasi penilaian, variasi pemanfaatan sumber belajar. Pada kegiatan akhir dalam pembelajaran pendidik seyogyanya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menyimpulkan apa yang telah mereka pelajari, seperti menulis jurnal.
Pemahaman orang dewasa dan anak muda (pelajar sekolah dasar dan menengah)tentang ilmu matematika itu berbeda. Anak muda belajar dengan cara sintetik a posteriori yaitu dengan realisme dan fakta empiris atau pengalaman, sedangkan orang dewasa itu pembelajarannya bersifat analitik a priori. Begitupula pada matematika murni dan matematika pendidikan, matematika murni itu bersifat analitik a priori, berdasarkan pandangan kaum logicism, formalism dan foundalism bahwa matematika murni itu berdasarkan logika dan rasio. Pembelajaran matematika diharapkan menggunakan sintetik a priori jadi ilmu itu dibangun atas dasar intuisi, pengalaman, rasio, logika dan realita. Pendekatan kontekstual dan kontruktivisme sangat dibutuhkan guna memberikan pemahaman kepada siswa tentang ilmu matematika. Jadi sebagai pendidik janganlah mengajar tentang konseptual tetapi mengajarlah dengan cara kontekstual.

BAB III
PENUTUP
Pendidikan matematika dari sudut pandang filsafat meliputi tiga hal yaitu: ontologi matematika, epistimologi matematika, dan aksiologi matematika. Metode pembelajaran matematika menurut Immanuel Kant adalah sintetik a priori atau dengan mensintesiskan pengalaman dan melakukan sintesis tersebut. Pada dasarnya seseorang memiliki intuisi, dan intuisi merupakan pengalaman seseorang. Sebagaimana suatu intuisi dibangun dari sesuatu yang ada dan mungkin ada. Tidaklah mungkin dikatakan pengalaman jika tidak di sintesis oleh rasio (pikiran) maka pembelajaran matematika adalah mempelajari matematika sesuai dengan pengalaman kemudian mensisntesiskan pengalaman tersebut dengan rasio atau logika sehingga menghasilkan sintesisi baru. Maka kaum logicm, foundalism dan rasional seharusnya melebur dengan kaum empirisisme untuk membentuk metode matematika yang berkarakter. 

Ideology Of Education


Ideology of Education

A.    Radical
James Mill (1773-1836)
Tulisan-tulisannya tentang pemerintahan dan pengaruh pribadinya di antara para politisi Liberal pada masanya menentukan perubahan pandangan dari teori Revolusi Prancis tentang hak manusia dan kesetaraan absolut manusia terhadap klaim sekuritas untuk pemerintahan yang baik melalui perluasan luas dari waralaba.

B.     Conservative
Edmund Burke (1729–1797)
Burke tidak percaya pada pemerintahan kecil tetapi “pemerintahan yang lamban,” yang dipenuhi dengan kesederhanaan dan kerendahan hati, selalu mendorong reformasi daripada radikalisme dan revolusi. Terlepas dari ketidakpercayaannya pada kemampuan kebebasan individu yang tak terkendali untuk membawa kebahagiaan pribadi atau sosial dan ketakutannya pada jebakan liberalisme, Burke membenci ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan besar.
Joseph de Maistre (1753–1821)
De Maistre mengembangkan pandangan teologis Revolusi Perancis sebagai suatu peristiwa yang ditakdirkan oleh Tuhan, baik untuk menghukum monarki Perancis dan aristokrasi untuk menyebarluaskan doktrin-doktrin atheistik destruktif para filsuf abad kedelapan belas, dan untuk mempersiapkan jalan bagi pemulihan monarki Bourbon. dan regenerasi Prancis.

C.    Liberal
John Locke (1632-1704)
Karyanya sangat mempengaruhi perkembangan epistemologi dan filsafat politik. Tulisan-tulisannya mempengaruhi Voltaire dan Jean-Jacques Rousseau, banyak pemikir Pencerahan Skotlandia, serta revolusioner Amerika. Kontribusinya untuk republikanisme klasik dan teori liberal tercermin dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat.
Thomas Hobbes (1588-1679)
Hobbes juga mengembangkan beberapa dasar pemikiran liberal Eropa: hak individu; kesetaraan alami semua pria; karakter buatan dari tatanan politik (yang menyebabkan perbedaan antara masyarakat sipil dan negara); pandangan bahwa semua kekuatan politik yang sah harus "representatif" dan berdasarkan persetujuan rakyat; dan interpretasi liberal terhadap hukum yang membuat orang bebas melakukan apa pun yang dilarang secara tegas oleh hukum.
Richard Price (1723–1791)
Thomas Jefferson (1743–1826)
John Rawls (1921–2002)

D.    Humanist
Lorenzo Valla (1407–1457)
Dia muncul, bagaimanapun, sebagai orang yang sia-sia, cemburu dan suka bertengkar, tetapi dia menggabungkan kualitas seorang humanis yang elegan, seorang kritikus akut dan seorang penulis berbisa, yang telah berkomitmen pada polemik kekerasan melawan kekuatan temporal Roma. Dalam dirinya, anak cucu tidak begitu menghormati sarjana dan penata gaya sebagai orang yang memprakarsai metode kritik yang berani, yang diterapkannya dalam bahasa, dokumen sejarah, dan pendapat etis.
Pico della Mirandola (1463–1494)
Yang ia yakini menyediakan dasar yang lengkap dan memadai untuk penemuan semua pengetahuan, dan karenanya menjadi model bagi pendakian manusia dari rantai keberadaan. 900 Theses adalah contoh yang baik dari sinkretisme humanis, karena Pico menggabungkan Platonisme, Neoplatonisme, Aristotelianisme, Hermetisisme dan Kabbalah. Mereka juga memasukkan 72 tesis yang menggambarkan apa yang diyakini Pico sebagai sistem lengkap fisika.
Desiderius Erasmus (1466–1536)
Awalnya dilatih sebagai seorang imam Katolik, Erasmus adalah tokoh penting dalam keilmuan klasik yang menulis dalam gaya Latin murni. Di kalangan humanis ia menikmati julukan "Prince of the Humanists", dan telah disebut "kemuliaan peninggalan kaum humanis Kristen". [4] Dengan menggunakan teknik-teknik humanis untuk mengerjakan teks-teks, ia menyiapkan edisi-edisi Latin dan Yunani baru yang penting dari Perjanjian Baru, yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang akan berpengaruh dalam Reformasi Protestan dan Kontra-Reformasi Katolik
Sir Thomas More (1478–1535)
Michel de Montaigne (1533–1592)
Ralph Waldo Emerson (1803–1882)
Jean-Paul Sartre (1905–1980)

E.     Progressive
William Heard Kilpatrick (1871-1965)
Kilpatrick mengembangkan Metode Proyek untuk pendidikan anak usia dini, yang merupakan bentuk Pendidikan Progresif yang mengatur kurikulum dan kegiatan kelas di sekitar tema sentral subjek. Dia percaya bahwa peran seorang guru harus menjadi "panduan" yang bertentangan dengan figur otoriter. Kilpatrick percaya bahwa anak-anak harus mengarahkan pembelajaran mereka sendiri sesuai dengan minat mereka dan harus diizinkan untuk mengeksplorasi lingkungan mereka, mengalami pembelajaran mereka melalui indra alami.

F.     Socialist
Jean-Jacques Rousseau (1712-1778)
Pandangan Rousseau adalah bahwa moralitas tidak diemban oleh masyarakat, tetapi lebih "alami" dalam arti "bawaan". Itu bisa dilihat sebagai hasil dari desakan naluriah manusia untuk menyaksikan penderitaan, dari mana timbul emosi belas kasih atau empati. Ini adalah sentimen yang dibagikan dengan hewan, dan yang keberadaannya bahkan diakui Hobbes.
Comte de Saint-Simon (1760–1825)
Dia menciptakan ideologi politik dan ekonomi yang dikenal sebagai Saint-Simonianism yang mengklaim bahwa kebutuhan kelas industri, yang juga disebut sebagai kelas pekerja, perlu diakui dan dipenuhi untuk memiliki masyarakat yang efektif dan ekonomi yang efisien. Berbeda dengan konsepsi lain oleh orang lain tentang kelas pekerja yang menjadi pekerja manual saja, konsepsi Saint-Simon tentang kelas ini mencakup semua orang yang terlibat dalam pekerjaan produktif yang berkontribusi pada masyarakat, termasuk pebisnis, manajer, ilmuwan, bankir, bersama dengan pekerja manual di antara yang lain.
Karl Marx (1818–1883)
Dalam model sejarah evolusionernya, ia berpendapat bahwa sejarah manusia dimulai dengan kerja bebas, produktif dan kreatif yang dari waktu ke waktu dipaksa dan tidak manusiawi, kecenderungan yang paling jelas di bawah kapitalisme. Marx mencatat bahwa ini bukan proses yang disengaja, tetapi tidak ada individu atau bahkan negara yang dapat melawan kekuatan ekonomi.

G.    Democra­cy
Joseph Aloïs Schumpeter (1883-1950)
Schumpeter membantah gagasan bahwa demokrasi adalah proses di mana pemilih mengidentifikasi kebaikan bersama, dan politisi melakukan ini untuk mereka. Dia berpendapat ini tidak realistis, dan bahwa ketidaktahuan dan kedangkalan orang berarti bahwa sebenarnya mereka banyak dimanipulasi oleh politisi, yang mengatur agenda. Selanjutnya, ia mengklaim bahwa bahkan jika kebaikan bersama itu mungkin untuk ditemukan, itu masih tidak memperjelas cara yang diperlukan untuk mencapai tujuannya, karena warga negara tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk merancang kebijakan pemerintah.
John Dewey (1859-1952)
Dewey menganggap demokrasi sebagai bentuk ideal kehidupan sosial manusia. Tetapi berbicara tentang cita-cita segala sesuatu menyiratkan kesempurnaan. Demokrasi itu baik, tetapi John tidak melihat bagaimana kesempurnaan itu. John mengatakan tidak ada bentuk pemerintahan yang ideal. Dewey menegaskan bahwa demokrasi yang utuh harus diperoleh tidak hanya dengan memperluas hak suara tetapi juga dengan memastikan bahwa ada opini publik yang terbentuk sepenuhnya, dicapai dengan komunikasi antara warga, ahli, dan politisi, dengan yang terakhir bertanggung jawab atas kebijakan yang mereka adopsi. Oleh karena itu, John Dewey dikenal sebagai pendukung demokrasi.